Monday, December 20, 2010

Wallking- Walking di sekitar GASIBU BANDUNG


kawasan Gasibu di hari Minggu

Minggu, 19 Desember 2010 akhirnya jalan-jalan juga. Ke mana???? Ke Gasibu lagi! ^^ maklum uangnya hanya sampai untuk membeli barang di Gasibu. Tidak seperti biasanya, Gasibu padat kemarin. Biasanya kan super padat sampai jalan pun harus merayap seperti antri sembako.

Belanjaanku:

1 helai handuk @Rp 10.000,- =Rp 10.000,-

2 pasang kaos kaki @Rp 5.000,- =Rp 10.000,-

1 pasang sepatu plastik @Rp 20.000,- =Rp 20.000,-

1 bungkus permen noga @Rp 1.000,- =Rp 1.000,-

1 bungkus cimol @Rp 2.000,- =Rp 2.000,-

1 bungkus rujak @Rp 3.000,- =Rp 3.000,-

Total = Rp 46.000,-

permen jadul ^^

frontpack! usaha mencegah copet!

Ada beberapa tips saat belanja di Gasibu.

  1. Harus mau berkeliling, karena bisa saja di lapak lain harganya lebih mudah (sering kejadian)
  2. Harus berani menawar gila-gilaan ( aku menawarnya hanya bisa sampai Rp 5.000, tapi si abangnya gampang banget setuju. Artinya harganya sebenarnya lebih murah)
  3. Untuk antisipasi copet, pakai tak di depan.
  4. Kalau mau beli CIMOL cari yang enak! ( Yang aku beli kemarin keras minta ampun tapi tetap dimakan juga hehe)

Hal-hal yang membuat aku prihatin:

  1. Barala alias sampah bertebaran
  2. Semraut antara tukang dagang, pembeli, dan kendaraan

Tujuan selanjutnya adalah menemani adikku yang belum berkunjung ke Museum Geologi. Wuih! Lagi banyak pengunjung dari sekolah luar kota ternyata! Ini kunjungan ketigaku hehehe… ada beberapa koleksi yang ditambah, tapi kurang up-date soal erupsi Merapi yang baru terjadi. Dari miniatur yang aku lihat, baru tau kalau Merapi dengan Bromo itu jauh, tapi lebih jauh lagi dengan Bandung (hehehe penting???), tapi hebatnya waktu itu debu Merapi bisa sampai ke Bandung ya!

di bawah replika rangka dinosaurus!

adikku berusaha menggambar tengkorak jaman purba ^^

fosil-fosil kerang (lucu buat bentuk kue lebaran)

Hal-hal yang membuatku prihatin:

  1. Barala (selalu menjadi pertama). Sisa makan siang anak-anak yang berkunjung bertebaran di mana-mana.
  2. Anak-anak meninggalkan “kenang-kenangan” berupa coretan di pintu wc museum.
  3. Kurang Up-date! (Rasanya kurang penelitian)
  4. Mengapa film yang diputar tidak pakai bahasa Indonesia agar anak-anak SD bisa lebih memahami. (kalau seumuran aku cukup baca subtitle sih nggak apa-apa, tapi liat anak SD sepertinya kurang antusias)

Monday, December 13, 2010

You are so Indonesian!

Sudah menjadi hal yang umum bahwa ungkapan Indonesia banget memilili makna negatif, makna yang enggak banget!Indonesia banget beraerti orang itu memiliki ciri-ciri karakter yang buruk seperti sering telat, buang sampah sembarangan, tidak taat lalu lintas, prilaku destruktif lainnya. Dan itulah yang terjadi padaku hari ini…

Ini adalah sebuah curahan emosi

Aku adalah seorang guru yang memiliki harapan akan perubahan dunia pendidikan Indonesia. Sehingga pendidikan berhasil menjadikan manusianya tumbuh menjadi manusia-manusia yang memiliki nilai di dunia, berdayaguna, atau hal setidaknya mereka dapat membuat keberadaan mereka berguna. Mungkin inilah harapan terkecil. Namun, apa yang terjadi padaku hari ini rasanya membuat aku harus bersiap mengubur harapan itu.

Semuanya dimulai saat aku mengawas ujian akhir semester hari ini. Aku adalah orang yang bertipe tidak tahan melihat murid mencontek saat ulangan. Apapun bentuknya, mau itu mencontek teman, mencontek buku, menyamakan jawaban atau apapun yang halnya berhubungan dengan mencontek. Sebenarnya aku tidak ingin mengawas di kelas yang sama saat ujian. Melelahkan harus melihat wajah-wajah yang menatapku dengan kebencian karena ketegasanku.

Hari ini aku memulai mengawas dengan mengeluarkan semua buku contekan dari kolong bangku. Hal ini aku lakukan karena sebelumnya begitu banyak buku yang aku sita saat ujian, maka penyitaan buku aku lakukan dari awal. Banyak yang mati kutu karena ini bahkan seorang murid berceloteh “rek pake soal moal?” (Mau pakai soal atau tidak?). Dia sudah frustasi karena mereka tidak butuh soal kalau buku mereka sudah disita dari awal, tidak ada sumber yang bisa dijadikan contekan. Inilah yang aku katakan: You are so danm Indonesian! Tidak menyiapkan dan tidak peduli pada kewajiban mereka sendiri. Jika mereka memang sudah tidak peduli tak perlulah berceloteh dengan gaya bahasa yang urakan begitu!

Ulangan berlangsung hening, banyak wajah pasrah karena sudah tak tahu apa yang harus mereka tulis. Umumnya mereka akan sibuk di menit-menit terakhir. Frustasi, salah seorang dari mereka memilih mengumpulkan dan keluar. Karena kondisi sudah mulai tidak kondusif mulailah aku memaraf lembar jawaban anak-anak yang mencontek sampai akhirnya seseorang melakukan protes. Ia menendang keras pintu setelah menyerahkan lembar jawabannya padaku. Jantungku langsung bergetar saat itu. Kecewa dengan sikap yang lagi-lagi … you are so Indonesian! Bukankah dari SD pun kita belajar kalau mencontek saat ulangan adalah perbuatan yang tidak dibenarkan? Dia yang salah, dia yang marah… Indonesia banget! Namun, nilai moril dari semua itu bahwa sebagai seorang murid dia tidak menghargaiku sebagai guru. Saat ujian seperti itu rasanya tak layak aku memperingatkannya karena aku tidak mau mengganggu jalannya ujian. Satu berani melakukan hal seperti itu, maka yang lainnya merasa mendapatkan izin yang sama, maka beberapa orang pun membeo dengan keluar sambil menendang pintu. Jujur semua itu membuatku gentar. Saat itu air mata sudah mengumpul dipelupuk mataku, tapi masih ada ulangan berikutnya untuk kelas XI. Aku bertahan dengan ketegasanku dan tetap berusaha menahan agar air mata tidak menetes. Ulangan selesai dan siswa yang terakhir melakukan hal yang serupa saat dia keluar kelas. Entah dia tendang atau dia pukul dengan helm. Aku muntab! Akhirnya menangis juga!

“who do you think you are?”

Aku tidak mengemis untuk menjadi guru di sana. Seandainya tidak memikirkan tanggung jawab aku pikir keluar adalah hal yang terbaik. Aku bukan orang yang gila hormat tapi bukan berarti bisa direndahkan seperti itu.

Inilah generasi Indonesia berikutnya. Watak seperti ini dimiliki 70%-80% siswa tiap kelas, atau lebih jelasnya orang yang mengerti mengapa harus sekolah dan belajar tak lebih dari 10 – 15 orang setiap kelas yang jumlahnya 30-40. Jika ini terjadi di setiap sekolah di Indonesia, maka aku tinggal menunggu Indonesia tenggelam, tapi untunglah bahwa hal seperti ini biasanya hanya terjadi di sekolah swasta (bukan swasta berada).

Sudah saatnya Indonesia memiliki makna yang lebih indah, lebih bermakna, lebih positif…

I know I’m a melancholic and tearful , but I’ve tried not to crying there… just… it was so hard!

Wednesday, December 1, 2010

Tersesat di RSHS? Tanya Tukang Koran!

Minggu lalu adalah pengalaman pertamaku mengunjungi RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin) Bandung di daerah Pasteur. Ngemplad pisan perjalanan dari rumahku daerah Ujungberung sampai sana. Selama perjalananku ke sana, terbayang rumah sakit yang jauh dari kata "bagus" karena itu rumah sakit pemerintah dan untuk rakyat (rasanya sudah biasa membayangkan pelayanan untuk rakyat itu memang tidak bagus). Namun bayanganku itu langsung buyar begitu aku sampai di sana.

Loh Kok Bagus!

Masuklah aku ke sana, rasanya tidak jauh berbeda seperti memasuki rumah sakit Advent. Namun, tak lama rasa itu dapat aku rasakan. Ketika bertanya pada satpam bagian kulit dan kelamin, satpamnya bingung. "kliniknya?" tanyanya. Aku tidak mengerti. Aku berikan saja surat rujukan dari dokter di sini. Mendekatlah kami pada petugas-petugas yang lain untuk memastikan. Akhirnya aku (dengan kakakku) disuruh keluar dulu lalu ke belakang. Dalam hati sudah mulai bertanya-tanya... "kok keluar ya!"

Keluarlah kami menuju belakang gedung....
Hemh... Tampilannya sangat jauh berbeda. Maaf tapi dalam hatiku langsung terbesit. "kaya rumah susun"

Oke, aku lanjutkan perjalanan dan masuklah aku ke sana. Ternyata inilah RSHS yang ada dalam bayanganku selama di angkot. Ya seperti rumah sakit rakyat pada umumnya banyak pasien dengan segala macam dokumen.

Hemh.... Kok dalamnya membingungkan ya! tidak jelas arahnya kemana, tanda-tanda informasinya, tapi sudahlah setidaknya masih ada satpam di sana. Aku lupa bagaimana satpam menerangkan jalan padaku untuk sampai ke bagian kulit dan kelamin, tapi sebelumnya aku harus daftar. Saking bingungnya aku sampai minta diterangkan lagi.

Sebenarnya belum benar-benar mengerti dan terbayang di kepala, tapi kami hajar saja! sampai di pertengahan ... "di mana sih?"

Ah mungkin itu tempat daftarnya! eh ternyata kami melihat bagian informasi. Hanya untuk meyakinkan saja, kami coba tanya bagian informasi. pertanyaanku sih tidak berhubungan dengan bagian loket pendafataran tetapi...

"bu, apa yang dapat rujukan juga harus daftar?"
"mau ke dokter siapa?"
"ini bu, saya nggak bisa bacanya" (aku memang tidak bisa baca surat rujukan dari dokter)
"oh ibu......., ke lantai dua aja... lewat sini terus nanti ada jembatan........(dst)" (patokanku jembatan)
"daftarnya?"
"Daftarnya nanti di sana!"

Oke keluarlah aku dari bagian informasi dan mencari tempat selanjutnya. Aku dan kakakku mulai saling berpandang.

"jembatan yang mana?"
membatulah kami. sudah merasa jenuh... "harus gini ya mau ke dokter aja"

"kemana neng? tanya tukang koran. kami tidak bergeming. Dalam benakku 'tau apa tukang koran'
"Mau ke dokter siapa Neng?" tanyan tukang koran lagi.
"ke dokter ............." kataku.
"Oh ke atas aja, lewat sana. dokter itu mah di lantai dua"

OOPS! ternyata tukang koran lebih bisa diandalkan daripada papan penunjuk jalan dan bagian informasi. Memang benar ternyata bagian yang aku cari ada di lantai dua.

And what next?
Pergilah kami ke bagian pendaftaran yang di bagian kulit dan kelamin. Aku berikan surat rujukannya.
"Oh ibu ........ (si dokter sepertinya tidak ada, karena petugas pendaftaran memperlihatkan wajah itu) ya udah neng sekarang mah daftar aja dulu dibawah!"

Ya ampun!!! Balik lagi?
Oke! just do it!
Satpam yang pertama bertemu di bangunan belakang ini memang berkata yang di bawah. Berarti memang tidak singkron antara Satpam dan bagian informasi. Hemh...

At least....
oh At least...
setelah mendaftar aku punya kartu kesehatan yang bagus...



Setelah itu barulah aku bisa bertemu dokter... PRAKTEK (alias dokter muda... kan aku dirujuknya ke ibu..........)

Satu lagi...
Rasanya memang RSHS sudah melekat sebagai rumah sakit orang miskin (maaf)... sampai-sampai dokternya bertanya pada temannya saat akan memberi aku resep. "which one is cheaper?"

Hehehe mungkin wajahku tampak miskin dan tak mengerti bahasa Inggris...
Sudahlah... aku memutuskan untuk tidak kembali untuk ini. Aku sedang memikirkan pilihan kedua. Langsung ke klinik kecantikan saja!